Menumpang Besar Nama Suami

menumpang-nama-besar-suam
Penambahan nama suami di belakang nama istri berakar dari tradisi Barat. Padahal, di sana, kebiasaan itu sendiri telah diabaikan masyarakatnya.
Wati tak habis pikir kenapa orangtua memberinya nama demikian irit. Hanya satu suku kata, terdiri dari empat huruf. Nama yang amat pasaran itu pun hasil contekan ayahnya tatkala mendengar anak sulungnya membaca buku teks SD zaman dulu kala.
Beyrhububg nama wati dimiliki orang banyak, maka sejak remaja ia menambahkan nama ayahnya setelah namanya: Wati Soepardjo. Setelah menikah, giliran nama suami yang dicantolkan: Ibu Wati Jumadi. Secara psikologis, dia merasakan manfaat yang besar dalam meningkatkan rasa percaya diri.
Pihak Pro
Pihak yang mendukung penambahan nama suami memang punya alasan psikologis, sosiologis, ekonomis, politis dan sebagainya. Penyantuman nama ibu sebagai bentuk bakti dan penghormatan terhadap suami. Sekaligus merawat rasa cinta dan kasih sayang pasangan suami-istri (pasutri).

Efek sosialnya lumayan bagus. Untuk kasus Wati, misalnya, penambahan nama suami memudahkan dirinya dan orang lain. Betapa sulit mencarinya bila satu komplek perumahan memiliki nama Ibu Wati delapan orang! Nah, penambahan nama suami sungguh memudahkan identitas demikian.
Penyantuman nama suami juga memperjelas status bahwa perempuan itu sudah ada yang punya. Setidaknya akan menghambat keisengan pihak-pihak yang usil. Apalagi kalau nama suaminya tergolong keren, bisalah menggerek nama istri yang terkesan ndeso alias kampungan.
Selain itu, status sosial juga bisa naik, reaksi orang terasa amat beda, dati biasa menjadi super istimewa tatkala mengetahui siapa suaminya. Cukup dengan menyantumkan nama suami yang bintang lima, sang istri turut kecipratan penghormatan layaknya sebagai jendral.
Nama suami juga laku sebagai dagangan politik. Kampanye legislatif kemarin, contohnya, diramaikan dengan baliho besar calon legislator [caleg] perempuan; pilihlah Yani Yudho!
Pihak Kontra
Pihak yang menolak tentu tak kalah garang. Bagi mereka, cara itu tak lebih dari patriarkhi model baru. Demikian lemahnya wanita, bahkan soal nama pun mesti berlindung pada kebesaran suami. Cara itu hanya untuk menunjukkan istri adalah milik suami yang tidak memiliki kemandirian dalam kehidupan dan tak hanya pilihan sendiri.

Istri-istri berlomba menambahkab embel-embel nama suami. Anehnya, suami tak kunjung menambahkan nama istri di belakang namanya, meski istrinya telah jadi presiden sekalipun.
Sejatinya, wanita itu sendiri yang dirugikan, berhubung fokus pandangan dan perhatian justru ke nama suaminya. Bila disebut nama istri, orang tidak mempedulikannya? Tapi begitu melihat nama suaminya, orang langsung ber-oh-oh; istrinya walikota toh!
Apakah ini tidak termasuk proses menumpang besar (untuk tidak menyebutnya sebagai riya')? Ternyata yang hebat suami saja, istrinya tak mampu apa-apa kecuali menempeli nama suaminya di belakang nama dirinya. Lantas, buat apa namanya sendiri? Percuma ayah-ibu memberinya nama bagus, bila setelah menikah justru berubah menjadi Bu Rudi, atau Bu Hadi.
Lagi pula, konvensi hak-hak perempuan sedunia memutuskan bahwa perempuan berhak memutuskan bahwa perempuan berhak memilih untuk memakai nama keluarga orangtua atau suami, atau tidak memakai keduanya sama sekali.
Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, juga mencakup persamaan dalam hukum keluarga. Tentang hal ini terdapat pada pasal 16, baguan 1.g. yang bunyiny: 'hak pribadi sama sebagai suami-istri, termasuk hak untuk memilih nama keluarga, profesi dan pekerjaan'. (lihat http://komnasham.go.id).
Dilema
Mawar keberatan nama suami membuntuti namanya. Soalnya, hasil paduan itu terdengar aneh hingga menggundang olok-olokan. Mawar bersuamikan Guntur. Jadi saat digabungkan terdengar, "Mawar (kena) Guntur! Hangus dong!" Demikian ledek teman-teman sekantornya.

Lain halnya Bu Marni Supardi, lambat laun namanya dilupakan orang hingga yang tersisa panggilan Bu Supardi saja. Kendati suaminya Pak Supardi sudah meninggal dunia, panggilan itu tak juga ikut terkubur. Celakanya, saat wanita itu punya suami baru, tetangganya tetap memanggilnya Bu Supardi. Wanita itu jelas tak enak hati dengan pasangan barunya.
Selaib menambah panjang nama, hal ini juga menambah panjang urusan, karena bisa burujung dengan penggantian semua yang sudah tercatat. Anda harus ganti Akte, KTP, pasport, dan berbagai urusan surat-menyurat lainnya. Padahal perkara administrasi di Indonesia luar biasa melelahkan proses urusnya; kerepotannya bisa naik pangkat menjadi penderitaan.
Secara administrasi, banyak kesulitan akibay pergantian atau penambahan nama suami. Capek mengurusnya! Namun sebutan, mudahlah!
Akar Barat
Atas pertimbangan adat-istiadat Barat, Hillary Clinton menambahkan nama suaminya, Bill Clinton. Di Amerika, ada suatu rumus umum, perempuan yang nama famili bapaknya (dan bukan suaminya) bisa berarti belum kawin alias single, atau sudah kawin tapi belum nikah alias kumpul kebo, atau dia single parent. (Lihat http://forum.detik.com)

Tapi dalam perkembangannya, cara ini bukan lagi sebuah keharusan, bahkan cenderung diabaikan. Alasan emansipasi wanita serta penghargaan terhadap hak individu, membuat para istri di sana lebih bangga dengan nama sendiri.
Situs Kedutaan Besar Inggris menerangkan bahwa sudah tidak lagi menjadi syarat bagi wanita untuk mengikuti nama keluarga suami. Andrea dari Oxford berkomentar: "Lebih aman jika saya tetap mempertahankan nama gadis saya. Karena saya tidak harus mengganti semua dokumen pribadi seperti pasport, SIM, dan lain-lainnya. Lagi pula, saya lebih suka nama sendiri dibanding nama suami."
Wanita Inggris memiliki banyak alternatif untuk nama mereka; tetap menggunakan nama gadis, menggabungkan nama gadisnya dan nama suami, atau menciptakan dua kata patah nama, atau pada beberapa kasus, sang suami memakai nama keluarga istri. Jalan tengah juga dilakukan oleh pasangan di Inggris dan Amerika. Seperti dengan mencangkok dua nama dan menciptakan nama baru. Contoh Wayne Rooney menikah dengan Coleen McCloughlin menjadi McLooneys. (Lihat http://britishcouncil.org)
Versi Rasul
Ilmu yang termasuk pertama diajarkan Allah pada Nabi Adam adalah tentang nama-nama. Sehingga tercantum dalam Al-Qur'an, "Wa 'allama al-Adama al-asmaa kullaha [Dan Allah telah mengajari Adam segala nama-nama]" (QS. Al-Baqarah : 31). Nama-nama itu sangat penting untuk identifikasi dan pengembangan pengetahuan.

Sedangkan Rasulullah sendiri menyebutkan bahwa nama adalah doa, bahkan termasuk akhlak orangtua memberikan nama yang terbaik bagi putra-putrinya. Hanya saja, pencantuman nama suami di belakang nama istri bukan termasuk sesuatu yang diwajibkan.
Rasulullah memiliki istri lebih dari satu, tapi tak tercatat dalam sejarah Islam ada Khadijah Muhammad atau 'Aisyah Muhammad atau Hafsah Muhammad dan lainnya. Semua istrinya memakai embel-embel nama sesuai nasab atau garis darah masing-masing; Khadijah binti Khuwailid, Aisyah binti Abu Bakar atau Hafsah binti Abu Bakar atau Hafsah binti Umar.
Padahal akan lebih mentereng bila istri-istri itu menambahkan nama Muhammad. Soalnya suami mereka adalah sosok manusia nomer satu paling berpengaruh di dunia. Namun kebesaran suami bukanlah beban bagi istri, apalagi dimanfaatkan untuk motif-motif duniawi.
Jika penambahan nama suami merupakan bentuk bakti atau penghormatan, tentu Rasul pertama kali menyuruh istrinya melakukan hal demikian. Tetapi itu tak pernah terjadi, bahkan jutaan ulama sesudahnya tak menemukan celah dalil yang menyuruhnya demikian.
Bila yang dipertahankan selera hati, tidak semua kata hati itu baik bagi manusia. Betapa besarnya kasih Nabi Muhammad kepada Zaid bib Haritsah. Dia memerdekakan bocah itu dari perbudakan, lalu mengasuhnya penuh kasih. Di hadapan Ka'bah, disaksikan banyak pasang mata, Nabi Muhammad mengumumkan Zaid adalah putra angkatnya. Seketika itu populerlah sebutan Zaid (bin) Muhammad. (Lihat Tafsir al-Baghawiy).
Nabi Muhammad senang, penduduk Mekkah pun menyambut gembira, tetapi Allah melarangnya. Simaklah surat at-Taubah : 5. "Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka."
Tafsir Ibnu Asyur menerangkan bahwa maksud dari panggilan nama itu adalah penunjuk garis keturunan (nasab). Embel-embel nama akan berimbas pada hak warisan serta berbagai kewajiban yang tanggungjawabnya dunia-akhirat. Cara itu merupakan budaya jahiliyah dan dibatalkan Allah karena menimbulkan kekacauan. Untuk keinginan baik itu, Rasulullah saja tidak menumpang nama besar, malahan membesarkan nama si Zaid. Lantas bagaimana cara istri-istri yang kepincut nama besar suaminya melegalkan selera mereka?
Tampaknya setelah tak laku di Barat, karena dianggap banyak merugikan, tradisi penambahan dengan nama suami pun diekspor ke dunia Timur. Anehnya, kita pun dengan meriah menyambut tradisi ketinggalan zaman itu. Nah, silahkan berpendapat!

Demikian tulisan tentang Menumpang Besar Nama Suami. Semoga bermanfaat.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel