Kata Ganti Orang Pertama Tunggal: Kebebasan

Esai oleh Ade Mulyono (Suara Merdeka, 5 Januari 2020)

Kebebasan barangkali kata yang suci bagi Eropa. Faktor sosiologi-historis yang membuat kata "kebebasan" itu menjadi sakral. Kata "kebebasan" dibenci bukan karena gramatikalnya, melainkan fungsinya; mengancam penguasa dan hegemoni agama. Di Eropa Abad Pertengahan raja dan para teolog Gereja bersekutu menghadang "fungsi kebebasan". Jika tidak berlebihan kata "kebebasan" telah melampaui dari sekedar azimat, mungkin lebih tepat kebebasan adalah "ayat suci" humanity. Karena kebebasan bukan hanya mencakup tapi juga jadi dalil dalam segala hal; dari persoalan etis, politis, hingga teologis.

Perjuangan melawan hegemoni agama dan penguasa korup; serakah, tiran, otoriter, tidak hanya terjadi secara fisik: baku-hantam, melainkan juga berlangsung di medan "kata". Adalah para pengarang (pujangga) sebagai aktornya. Kita tahu karya sastra merupakan cerminan dari kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra pengarang berusaha menangkap dan menghadirkan ulang cerminan kehidupan masyarakatnya.

Kata Ganti Orang Pertama Tunggal: Kebebasan

Setiap tokoh imajiner yang diciptakan pengarang acap kali bergumul dengan realitas kehidupan. Bahkan pengarang tidak segan untuk "mendandani" tokoh yang "memberontak" terhadap tatanan kehidupan (ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku di tengah masyarakat) seperti adat-istiadat, hegemoni agama-budaya dan penguasa tiran - yang menurutnya tidak sesuai dengan prinsip idealisme dan nilai filosofisnya. Seorang pengarang akan mempertahankan kebenaran yang diyakininya - tentu melalui tokoh imajinernya.

Tokoh "aku" (Hunger/Sult) buah pena Knut Hamsun adalah tokoh yang berupaya mempertahankan nilai-nilai yang diyakininya. Tokoh "aku" tak menyerah memperjuangkan pilihan hidupnya, kendati acap kali dihantam dingin di tulang dan panas di perut. Sebab, lapar mengintai hari-harinya. yang nelangsa. Tokoh "aku" terus menyusuri labirin hidupnya: menjadi pujangga masyhur di Skandinavia. Walau di akhir cerita gagal.

Jika boleh meraba pikiran Knut Hamsun dalam novelnya Hunger/Sult yang mempertontonkan penderitaan demi penderitaan. Hamsun tidak sekadar mendramatisasi layaknya nyanyian dan tarian ala film India, tentu saja kritik modernitas. Ringkas kata, memberontak terhadap nilai, syarat, dan tatanan yang berlaku di masyarakat. Knut Hamsun melalui tokoh imajinernya telah menegakkan panggung kesedihan bab demi bab. Tokoh "aku" tak segan untuk memungut kulit jeruk yang ditemuinya di jalan untuk dimakannya. Juga tak terbendung saat tokoh "aku" merobek bajunya kemudian memamahnya. Di lain kesempatan dengan sangat terpaksa mengambil serpihan kayu di pinggir pabrik untuk memnuhi Id-nya: lapar.

Mengguncang

Tokoh "aku" di Skandinavia mengingatkan pada penyair kita yang hidupnya dihabiskan untuk menulis puisi, walau puisi tak menghidupi dirinya: Chairil Anwar. Penyair "eksistensialis" itu lewat sajak "aku" telah mengguncang alam kesusastraan kita yang masih muda usianya. Sajak "Aku" seakan-akan hendak mencungkil takhta kata "kita". Chairil Anwar lewat sajak sajaknya bukan hanya memprotes pada penguasa Belanda saat itu, akan tetapi juga menguji kemapanan dan kenyamanan kebudayaannya. Bahwa setelah kemerdekaan bangsa adalah kemerdekaan individualisme dan kata (bahasa)

Lain Knut Hamsun dan Chairil Anwar, maka lain pula Kahlil Gibran sang "Nabi Cinta" yang juga tak kalah tragisnya dalam memotret layar terkembang di masyarakatnya. Tokoh "aku" menjadi saksi sahabatnya, Rasyid Bik Nu'man, yang tak putus dirundung malang setelah ditinggal lari istri demi pemuda lain (dalam prosa Jiwa-Jiwa Pemberontak). Warda Hani perempuan yang kecantikannya gemilang itu digelari pelacur oleh masyarakat. "Perempuan yang tidak tahu diri setelah menumpang hidup dengan cara menukar tubuhnya dengan bulir nasi pada suaminya yang kaya," begitulah masyarakat berpendapat.

Siapa bersalah di antara keduanya? Bagi hegemoni kebudayaan tentu moralitas menjadi hukum yang siap merajam individu. Namun satu hal yang alpha dari standar moral di masyarakat ialah kebebasan. Dalam prosa Kahlil Gibran itu, barulah diketahui di akhir cerita, layaknya Siti Nurbaya; takkan ada pernikahan tanpa ada keterpaksaan, Warda Hani lari dan memilih "diludahi" masyarakat dari pada mengkhianati cintanya dengan kekasihnya. Mana lebih terang dan gemuruh antara cinta dan kekuasaan, antara surar gemuruh dan budaya patriakis yang bersekutu dengan agama? Akhirnya perempuan hanya mempunyai satu bahasa tubuh: mengangguk.

Dalam roman Anak Semua Bangsa, Pramoedya Ananta Toer menuliskan kesedihan Minke karena bunga jiwanya dibawa lari oleh sang "Batara Kala". Annelies yang rapuh dan penyakitan tergolek di kapal yang akan membawanya ke negeri asalnya: Belanda. Minke tak berdaya, kata-kata dalam setiap tulisannya di media massa gagal mempertahankan kehormatan; sebagai suami dan pribumi. Lewat cerita itu kita dibuat mengerti betapa mudah penguasa mengoyak dan menelanjangi harga diri menjadi tidak lagi berarti.

Pendek kata, kata ganti orang utama tunggal yang melahirkan tokoh imajiner "pemberontak" adalah langkah awal untuk memulai protes dan perlawanan. Tanpa tindakan kebebasan hanyalah nihilisme. Upaya menegakkan benang basah. Sastra tanpa tanggung jawab sosial adalah kata tanpa makna. Asap berselubung kabut. Seperti pidato seorang politikus: nonsense. Seperti penyair yang bersajak tentang anggur dan rembulan: lechery. Sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya, ujar Rendra dalam sajaknya.

- Ade Mulyono, sarjana sastra, tulisannya dimuat berbagai media, Novel perdananya Lautan Cinta Tak Bertepi (2018) terbit dengan nama pena Arian Pengestu.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel