Ilmuan Islam yang Teperdaya
Foto: Edi Wahyono/Nasaruddin Umar |
Ilmuan Islam yang Teperdaya ditulis oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA.
Semakin hari semakin banyak lahir ilmuan Islam. Bahkan dari luar disiplin keilmuan Islam pun tidak mau ketinggalan mengkaji Islam, sehingga sulit membedakan, mana orang-orang yang lulusan perguruan tinggi agama Islam mana yang dari perguruan tinggi umum. Mungkin itu juga disebabkan karena banyknya alumni Pondok Pesantren melanjutkan studinya di luar perguruan tinggi Islam atau self study keislaman semakin tinggi. Tidak sedikit di antara mereka memilih jurusan eksakta sampai ke luar negeri, tetapi wacana sehari-harinya masalah agama secara khusus.
Sayang sekali banyak di antara mereka yang terkeco dan terpedaya dengan hal-hal tertentu yang bisa menjadi kontras dengan semangat keilmuan yang diperjuangkannya. Sebagai contoh, banyak di antara para ilmuan Islam ahli soal akhlak/etika tetapi budi pekertinya kasar dan kurang beradab. Mereka tahu filosofi perbandingan antara akhlaq dan etika tetapi mereka sendiri cenderung berprilaku kasar, menghujat, dan membantai pendapat orang yang berbeda dengannya dengan kasar atau tidak proporsional. Mereka merasa sangat puas menyaksikan lawan-lawan dialognya terkapar, lalu ia menepuk dada sebagaimana layaknya prajurit perang kembali dengan membawa kemenangan.
Mereka hafal di luar kepala konsep muru'ah dan tawadhu' tetapi mereka sendiri selalu memperlihatkan arogansi keilmuan, memandang enteng orang lain dengan berbagaimacam tuduhan yang diadreskan kepada para penentangnya. Sepertinya ilmu adalah untuk ilmu itu sendiri, tanpa menyadari bahwa ada nilai-nilai lain selain nilai-nilai keilmuan, seperti nilai-nilai sosial budaya dan keagamaan itu sendiri. Mereka juga sadar bahwa ada konsep keilmuan yang valid secara akademik tetapi kurang diterima di dalam masyarakat. Sebaliknya banyak nilai-nilai sosial yang lemah secara akademik tetapi laris di dalam masyarakat. Dengan kata lain, validitas keilmuan sebuah nilai tidak berbanding lurus dengan penerimaannya di dalam masyarakat.
Kalangan ilmuan Islam pandai berdalil dan bahkan menghafal di luar kepala dalil-dalil keagamaan suatu persoalan, tetapi ia sendiri menjadi pecundang terhadap dalil-dalil tersebut. Banyak contoh bisa ditemukan, misalnya ada beberapa laptop kalangan teroris berisi film-film porno di samping fail yang berisi dalil-dalil agama yang mendukung faham radikalisme mereka. Fail-fail kontradiksi juga sering muncul di dalam laptop para ilmuan. Di satu tempat ditemukan file yang menghujat suatu persoalan tetapi di tempat lain ditemukan file yang mendukung persoalan tersebut. Mungkin tergantung pemesannya.
Mereka sangat menguasai soal-soal makrifah tetapi mereka sendiri tidak ikhlas menjalani kehidupan ini. Mereka pandai berbicara keutamaan ikhlas tetapi mereka sendiri memilih-milih amplop tebal untuk menentukan pilihan para pengundangnya dalam berbagai acara. Ia mengecam sekaligus prihatin masyarakat sudah kehilangan sendi-sendi keiklasan tetapi ia sendiri sadar menjadi bagian dari masyarakat tersebut. Ini semua membuktikan masih banyak ilmuan kita yang belum memiliki kepribadian utuh.
Mereka sibuk berpolemik soal hukum keagamaan tapi mereka sendiri tidak menghargai waktu sholat. Seringkali kita menyaksikan seminar dan diskusi tentang persoalan keagamaan tetapi sudah mepet waktu sholat belum berhenti. Padahal sebagian besar di antara pesertanya yang belum sholat. Rasulullah mewajibkan membalas suara azan dan menghentikan sejenak kegiatan pada waktu itu tetapi seminar dan debat jalan terus, tanpa memperdulikan suara azan, dengan berbagai dalih.
Mereka sangat produktif membicarakan persoalan kontroversi yang belum memiliki dasar dan kepastian hukum tetapi mereka sendiri tidak menjadi contoh yang baik di dalam penerapan hukum tersebut. Bahkan terkesan di antara mereka sangat produktif membicarakan reaktualisasi hukum dan nilai-nilai keagamaan tetapi mereka sendiri tidak mengamalkan sejumlah hukum normatif tersebut. Jika terlibat dalam suatu perkara hukum. mereka sibuk mencari keringanan beban hukum sekalipun harus mereduksi tujuan hukum. Mereka sangat sibuk mengkaji hukum-hukum fikih tetapi tidak untuk mencari Ridha Allah Swt, tetapi untuk kepentingan tertentu. Na'udzu billah min dzalik.